Photo by Nong Vang on Unsplash |
Cerita sedikit tentang pengalaman saya
berburu beasiswa. Perburuan saya mulai pertengahan tahun 2010, sekitar 1
semester saya prediksi kelulusan saya. Belum pernah ikut seminar beasiswa,
tidak kenal dengan sosok kakak kelas yang pernah kuliah di luar negeri, ya bisa
dikatakan saya mulai dari 0.
Saya mulai dengan ikut milis beasiswa dan
searching tiap malam sampai subuh, mana saat itu Bahasa Inggris saya pas –
pasan, baca requirement beasiswa beasiswa saat itu saja juga sebuah perjuangan
bagi saya. Laptop dan kamus warisan ibu saya (hehehe). Singkat cerita, tak terasa sudah sekitar 11 folder berisi informasi atau usaha mengumpulkan requirements saya kumpulkan.
Gambar jejak perjuangan mendapatkan beasiswa kuliah
Setelah saya pelajari tiap negara, kok
berat juga ya. Ga ada yang pemberi beasiswa langsung nawarin ke email pribadi atau
saya lamar modal ijzah dan transkrip doang, besok berangkat gitu. Yah, di poin
ini saya belajar beasiswa itu bukan hadiah, tapi perlu dikejar. Singkatnya, saya
hampir tidak eligible untuk semuanya. Ditambah saya tipe penakut saat itu, ga
berani coba – coba, padahal ga ada salahnya ya. Tahun 2010 ini juga saya
berharap pemerintah Indonesia memiliki program beasiswa bagi warganya seperti
beberapa negara lain.
Baiklah jangan terlalu lama berangan –
angan, saya menargetkan mendaftar Erasmus mundus tahun depan (2011 akhir).
Translate dokumen termasuk akta kelahiran, saya baru tahu istilah penerjemah Sworn, dan sepertinya di Jogja saat itu belum ada penerjemah Sworn. Dokumen
lengkap, sisa IELTS nih yang jadi momok para scholarship hunter. Saya coba
belajar IELTS selama sebulan, dan tes di bulan berikutnya. Boom saya gagal,
nilai IELTS saya 5.5.
Karena harga ujian IELTS mahal, saya
ikhlaskan S2 dalam negeri. Tapi semangat kuliah ke luar negeri saya tidak
pernah padam. Setahun sebelum kelulusan S2, saya berniat apapun yang terjadi
saya harus S3 ke luar negeri. Ini hebatnya niat, sugesti, dan doa, sepertinya
dari situ saya memiliki semangat dan info beasiswa seakan datang sendiri. Usaha
mengejar IELTS saya lipat gandakan dari sebelumnya, nunggu jadwal nonton bioskop
saya latihan listening, saat jam kosong saya manfaatkan latihan writing (buat
kasus sendiri), bahkan berlatih speaking dengan lawan bicara imajiner saat di
jalan sendirian.
Singkat cerita, lulus S2 saya juga menjadi
dosen di UPN “Veteran” Yogyakarta. Seperti alam semesta mendukung, jurusan saya
mempersilahkan dosen muda langsung kuliah (biasanya harus menunggu giliran
beberapa tahun), kemudian baru pertama kalinya UPN memberikan beasiswa untuk
dosen yang ingin ujian IELTS. Sempurna.
Okay kali ini harus lebih baik dari
percobaan mengejar beasiswa sebelumnya, persiapan harus lebih matang. Kali ini
saya menargetkan LPDP sebagai calon beasiswa saya. Saya tidak boleh gagal di
LPDP batinku, maka saya akan mempersipakan semuanya matang – matang sebelum
mendaftar LPDP.
IELTS adalah target pertama saya. Berselang
5 tahun, ternyata lembaga penyedia ujian IELTS semakin popular. Pada saat 2010,
tidak perlu antri untuk ujian IELTS, daftar hari ini 1 minggu kemudian, ujian.
Dan saya masih ingat saat itu hanya 3 orang yang ujian bersama saya. Saat
2015, minimal harus menunggu 1 bulan untuk dapat jadwal ujian, ditambah, sekali
ujian bisa berbarengan dengan sekitar 20 orang lainnya. Another boom, saya
gagal pada ujian IELTS. Singkat cerita saya lolos IELTS pada percobaan
berikutnya, tentunya dengan usaha yang tidak kalah keras. Tiap kegagalan saya
rasakan peningkatan kemampuan saya dalam berbahasa Inggris. Jadi ya okelah
namanya juga proses.
Anyways, berbarengan dengan persiapan
IELTS, saya melengkapi berkas LPDP lainnya, seperti essay, draft proposal
penelitian, dan menghubungi calon supervisor untuk mendapatkan letter of
acceptance (loa). Cerita saya tentang mendapatkan loa dapat dilihat di sini.
Daftar IELTS di awal 2015 dan sekali lagi
boom saya gagal, okay stress seharian. Besoknya semangat lagi karena terpatri
S3 harus ke luar negeri. Jenuh dan jemu harus dilawan, jengah harus dijauhi.
Akhirnya saya berhasil melewati rintangan IELTS dipercobaan ketiga.
Ketika IELTS sudah ditangan, langkah selanjutnya
adalah mendaftar LPDP. Waktu hampir setahun membuat persiapan LPDP saya cukup
matang. Ada 2 tahap utama dalam mendapatkan beasiswa LPDP. Tahap pertama
disebut administrative, yaitu tahap pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pada tahap
ini saya lolos. Tahap kedua adalah leaderless group discussion, essay on the
spot, dan wawancara. Perlu diketahui karena kasus saya, calon supervisor tidak
akan memberikan restunya sebelum saya dapat beasiswa, maka saya bawa bukti
korespondesni dengan professor bahwa saya tinggal selangkah lagi.
Pada tahap kedua ini saya juga cukup
percaya diri, karena persiapan yang matang dan bukti sudah saya bawa semua. Di
titik ini saya tidak lupa minta doa orang tua yang saya percayai kekuatannya.
Sebulan kemudian dengan perasaan ingin kuliah ke luar negeri yang terendapkan
selama 5 tahun akhirnya saya mendapat email kelolosan saya menjadi awardee
LPDP.
Melihat ke belakang, saya menyimpulkan
bahwa perjuangan akan menunjukkan hasilnya. Kepintaran dan keahlian menyusun
strategi merupakan skill yang membantu dan mempercepat proses. Pandai –
pandailah menjadi pintar dan menyusun strategi kemudian realisasikan dengan
perjuangan.
Semoga bermanfaat dan ada hikmah yang dapat
diambil.
menambah motivasi pak
BalasHapus