Photo by Helloquence on Unsplash |
Tabel simulasi discount rate
Bayangkan, tabel di atas
merupakan ilustrasi aliran kas penjual bakso. Dengan modal awal 100 juta,
setiap tahun diperkirakan mampu menjual 1000 mangkok dengan harga per mangkok
adalah 40. Jadi dapat dikatakan nilai bisnis bakso ini adalah sebesar 50.000.
Tentunya nilai 50.0000 tahun
ke-5 tidak sama dengan 50.000 sekarang. Belum lagi harga bahan baku yang
fluktuatif, harga bakso yang bisa berubah karena pesaing baru muncul, atau
ketidakpastian lainnya yaitu pemilik lapak menginginkan harga sewa yang lebih
mahal tiap tahun. Ketidakpastian – ketidakpastian ini dikonversi menjadi
discount rate dalam teknik DCF.
Pertanyaannya, bagaimana kita
menentukan discount rate. Jika dapat memastikan tidak akan muncul pesaing,
harga daging, bumbu, sewa lapak tetap sama selama 5 tahun, dan hanya inflasi
saja yaitu 5% tiap tahun, berarti discount rate dapat dikatakan 5%.
Masalah semakin berat jika
perubahan variable lain tidak dapat kita kontrol (makro), maka kita hanya mampu
memprediksi nilai discount rate. Ada 4 cara penentuan discount rate yang saya
ketahui, Individual investor, weighted average cost of capital (WACC),
Historical data dan Survey.
Dasar dari metode ini adalah kesempatan berinvestasi pada bisnis lainnya (oppurtinity cost of capital). Jika kita akan menginvestasikan uang kita pada suatu jenis usaha, bakso misalnya, kita akan membandingkan dengan usaha lain, sebut saja deposito bank dimana keuntungannya jelas, kita “pasti” dapat untung misal 5% per tahun. Jika usaha bakso kita hanya mampu meberi keuntungan kurang dari 5% per tahun, lebih bijak kita mendepositokan uang kita di bank saja daripada repot – repot buka usaha bakso. Pada kasus ini, discount rate kita ambil 5%.
Metode
ini kita ambil jika modal usaha kita tidak hanya berasal dari uang pribadi,
tapi juga dari pinjaman bank atau pinjam dari investor lain. Rumusnya dapat
dilihat di bawah ini:
Dimana, E adalah Equity, D adalah Debt, V = E+D, Re adalah cost
of equity (%), Rd adalah cost of Debt
(%), dan Tc adalah corporate tax rate
(%). Untuk menghitung cost of equity digunakan rumus CAPM (capital asset pricing model).
Dimana,
Rf adalah risk free rate of return (%), B (beta) adalah korelasi antara firm’s return dan market
return (risk), ERm adalah markets cost of equity atau market return atau expected return (%). Dapat pula mengartikan (ERm – Rf) sebagai market premium.
Dimana,
CS adalah credit spread, CR adalah
coupon rate on bonds, dan TR adalah Tax
rate. CS adalah credit rating perusahaan, CR adalah bond interest, dan TR pajak yang harus dibayar kepada negara. Dengan
kata lain, discount rate ditentukan
setelah memperhitungkan komposisi dan kondisi modal, sehingga usaha kita
dianggap menguntungkan jika setelah menutupi angsuran hutang, kita masih
memiliki profit.
Historical Data
Pendekatan ini melihat dari uncertainties apa saja yang telah dialami sebelumnya. Misal usaha bakso, harga daging akan naik 2% per tahun dan sewa lapak naik 10% per tahun. Maka 12% kita tentukan sebagai discount rate.
Pendekatan ini melihat dari uncertainties apa saja yang telah dialami sebelumnya. Misal usaha bakso, harga daging akan naik 2% per tahun dan sewa lapak naik 10% per tahun. Maka 12% kita tentukan sebagai discount rate.
Untuk
perusahaan dengan skala dan administrasi lebih rumit, biasa menggunakan istilah
minimum accepted rate of return (MARR)
atau hurdle rate sebagai penentuan
discount rate. Menentukannya dengan menjumlahkan risiko – risiko yang akan
dihadapi perusahaan tersebut (inflasi, country risk, financial risk).
Ini paling sederhana, kita
mendapatkan angkanya dari pihak ketiga.
- Investor: kita tanyakan pada investor berapa % keuntungan yang mereka inginkan tiap tahun. Angka tersebut kita jadikan patokan batasan discount rate.
- Lembaga survey: Ada beberapa lembaga survey yang menilai ketidakpastian suatu jenis usaha (sayangnya khusus bakso belum pernah saya temukan). Lembaga itu seperti pwc (https://www.pwc.com/us/en/industries/asset-wealth-management/real-estate/library.html) dan CBRE (https://www.propertymetrics.com/wp-content/uploads/2013/09/CLF_CBRE-Valuation-Advisory-cap-rate-report.pdf).
Kalau saya simpulkan, bisa dikatakan tidak
ada salah dan benar dalam penentuan discount
rate, tergantung seperti apa kita ingin melihat performa perusahaan kita. Setelah mengetahui performa dan risiko yang dihadapi perusahaan,
maka analisis risiko perlu dipertimbangkan. Misal kita tahu penjualan bakso di
Mall ternama akan berisiko harga sewa dan gaji pegawai yang selalu meningkat
dan jumlah competitor tidak hanya penjual bakso tapi juga penjual steak, pizza,
ayam goreng, maka risiko – risiko tersebut ada baiknya perlu diperhitungkan.
Tidak ada komentar