Semakin berkembangnya teknologi internet, informasi tersebar begitu cepat dan mudah. Sayangnya, hingga saat ini pertumbuhan tersebut tidak dibarengi dengan teknologi filter yang akurat dan sesuai kebutuhan. Fenomena ini menciptakan polemik baru, yaitu menurunnya kredibilitas suatu berita. Ijinkan saya melihat polemik ini dari sisi agama. Melihat tren integrasi agama terhadap teknologi.
Agama sering dijadikan referensi suatu informasi atau ilmu pengetahuan. Tidak sedikit penyebaran informasi yang mengaitkan ayat dalam kitab suci atau ajaran agama tertentu, seperti Matahari ganda muncul di langit Amerika (Bukti kiamat sudah dekat Q.S. Al-Qiyamah ayat 9) atau muncul sosok mirip Yesus pada bencana tanah longsor (Tuhan Yesus bersama para korban bencana). Intepretasi “wolak-walik gathuk” semacam ini bisa jadi boomerang. Alih-alih mempertebal iman, malah menjadi pengikis iman.
Saya ambil contoh korelasi gegabah, akhir bulan Sept lalu (28 Sept 2017) saya melakukan perjalanan ke kota Lac-saint-joseph dari Montreal menggunakan bus. Penumpang sebelah adalah pria Palestina, beliau dari keluarga Islam, dan sering menjadi imam di masjid sejak usia 15 tahun. Beliau melihat fenomena agama menjadi alasan orang untuk menyesali nasib (miskin, cerai, cacat). Lulus SMA, beliau memutuskan kuliah (S1) di Kanada, dan bekerja di Jepang (saya lupa berapa tahun) kemudian pindah ke Amerika Serikat. Sekarang beliau sedang menempuh pendidikan S2 di bidang social worker. Beliau melihat orang yang beragama (maksudnya sebagian besar), mereka miskin dan tidak teredukasi dengan baik dibanding masyarakat rata-rata di sekitarnya. Mereka yang beragama selalu menggunakan “dogma” agama pada fenomena yang tidak bisa mereka pecahkan. Hal itu yang beliau rasakan bahwa agama dapat menjadi penghambat manusia untuk maju. Masih menurut beliau, hal itu semakin diperburuk dengan pengajaran yang bersifat konservatif (seperti kalau tidak percaya ya sudah nanti kamu masuk neraka).
Kasus kedua, pada awal abad 19, di provinsi Qubec, Kanada, dimana mayoritas masyarakatnya imigran Perancis beragama Katolik. Pemerintah pada masa itu memasukkan agama dalam unsur pemerintahan. Rumah sakit, lembaga pendidikan, dan public service lainnya dikontrol oleh gereja Katolik. Tentu saja tidak semua warga Quebec setuju dengan sistem pemerintahan seperti itu. Usaha untuk memisahkan unsur agama dengan pemerintah, karena gereja dianggap penyebab lemahnya ekonomi, ledakan penduduk sehingga sistem pendidikan semakin buruk, pada tahun 1960-an terjadi revolusi. Setelah pemerintahan bersifat “sekuler”, ekonomi Quebec merangkak naik (hampir 300% dalam 5 tahun), PLTA dibangun, listrik murah (perbulan saya bayar sekitar 200rb dengan 2 laptop, kompor, oven, kulkas; dibanding dengan UMR yang 18jt/bulan), asuransi kesehatan untuk semua warga, biaya sekolah nyaris gratis bagi warga Quebec. Fenomena sosial terjadi, bermunculan umpatan-umpatan dalam Bahasa Perancis yang berhubungan dengan unsur agama yaitu Tabarnak/F*ck (kotak berkunci untuk menyimpan barang di gereja), Chalice/D*mn (gelas wine sebagai seremoni meminum darah Yesus), dll. Umpatan itu masih ada sampai sekarang, dan generasi muda Kanada walaupun dianggap sebagai Katolik, praktiknya mereka tidak mengamalkan dan tidak percaya agama (Atheis). Semakin divalidasi oleh teman satu kampus (warga Quebec) yang terus terang mengatakan, “gereja hanya untuk orang tua yang sudah mau meninggal”.
Dari dua pengalam pribadi itu, saya menarik kesimpulan, tentang fenomena menjauhnya generasi muda dengan ajaran agama. Yaitu :
- Wolak-walik gathuk yang memasukkan unsur agama. Jika informasi yang di-wolak-walik tidak benar adanya, bukannya membuat seseorang semakin beriman, tapi sebaliknya malah membuat orang tersebut alergi dan sangsi dengan kebenaran agama. Lebih parahnya agama dianggap klenik, melihat jaman dulu jika terjadi fenomena alam yang faktanya belum terjawab akan dikaitkan dengan hal gaib (Gerhana bulan dimakan buto atau raksasa, Petir dengan Tuhan marah, Lindu atau gempa dengan ramalan atau lupa memberi sesajen pada Tuhan).
- Menjadikan agama sebagai tameng. Jika ada konflik seperti perdebatan atau fenomena alam yang susah dipecahkan, menggunakan agama dengan intepretasi sesuka hati untuk menyelesaikan masalah. Ini bisa menjadi senjata makan tuan. Jika orang yang lebih berkompeten memiliki argumen yang lebih masuk akal, akibatnya argumen kita terpatahkan, lebih lagi agama semakin terlihat konyol.
Alasan dan akibat di atas yang membentuk pola piker saya dalam menyikapi berita dengan sumber yang abu-abu. Semoga kita dapat terhindar dari fitnah, berita palsu yang menyesatkan, dan yang paling bahaya adalah menjadi pribadi yang memperburuk citra agama yang seharusnya sakral.
Lalu pertanyaan muncul, kemajuan seperti apa yang harus tumbuh atau muncul untuk mengantisipasi menjauhnya generasi mendatang terhadap agama. Solusi yang dapat saya pikirkan sekarang adalah:
- Memperhebat diri. Iya saya menggunakan kata yang general yaitu hebat. Hebat di sini bisa dari segi apa saja. Hebat dalam bidang masing – masing tentunya. Jika berperan sebagai polisi, jadilah polisi yang hebat, penegak hukum yang reaktif dan proaktif (Regoli, 1989). Jika menjadi petani, jadilah petani yang hebat, petani yang produktif. Dengan begitu, apapun agamanya, dia akan bertindak sesuai kapasitasnya.
- Hindari menyalahkan orang lain, bisa jadi orang tersebut telah belajar apa yang belum kita pelajari. Sebagai gambaran, dokter merekomendasi pemasangan pen/plat pada korban patah tulang, lalu kita mengkonfrontir bahwa korban patah tulang sebaiknya dipijat saja sepertinya kebanyakan orang. Kita bisa salah karena:
- Dokter yang kompeten, paham kasus dan pasien seperti apa yang harus dipasang pen, dan seperti apa yang hanya perlu gips atau perban saja.
- Kesalahan selanjutnya, bisa jadi kita menyebut “kebanyakan orang”, atas dasar 5 teman kita patang tulang, 4 nya hanya dipijat. Tapi dalam skala lebih luas, 1 juta orang patah tulang, hanya 100 ribu yang dipijat, sedangkan 900 ribu (90%) lainnya dengan operasi pemasangan pena.
Contoh itu menggambarkan tidak seharusnya memperdebatkan sesuatu yang bukan kompetensi kita.
- (<--Ketiga) Antisipasi pada berita yang tidak jelas sumber, tanggal, lokasi detail, dan dibumbui dengan kata “sebarkan” atau iming – iming pahala. biasanya berita tersebut palsu. Misal, “Baru saja kemarin teman saya di Sangihe sembuh dari kanker getah benih setelah meminum perasan daun beringin. Sebarkan, jangan berhenti di anda. Hanya meluangkan waktu 1 menit, mungkin anda menyelamatkan puluhan jiwa yang mengantarkan anda ke surga”. Sampai sini ada 2 kemungkinan, berita benar dan salah.
- Jika benar, mungkin saja itu kejadian 1 dalam 1 juta kasus, atau dia sembuh sebenarnya karena obat tertentu, pola hidup sehat, dan metode penyembuhan selama 5 tahun ke belakang. Kebetulan sebelum tes laboratorium dia minum air putih kemasukan daun beringin atau jenis obat yang penyebutan namanya mirip “beringin” (sumber tidak jelas, kemungkinannya juga macam – macam). Kemudian, di-generalisir bahwa sembuhnya karena air daun beringin.
- Kemungkinan kedua adalah berita palsu (pembahasan tujuan menyebarkan berita palsu bisa 1 artikel sendiri). Bayangkan keluarga anda cekokin minuman perasan daun beringin sehari 10 kali, dengan alasan “usaha” dan dosis tidak jelas. Akhirnya, usaha itu tidak memiliki efek menyembuhkan dan keluarga anda meninggal dengan siksaan minum perasan daun beringin di sisa hidupnya.
Terima kasih yang sudah membaca hingga selesai. Artikel ini hanya pikiran “nakal”, yang saya coba rangkai menjadi tulisan. Lebih kurang dan baik buruknya pada akhirnya kita sendiri yang menentukan jalan hidup kita, abai terhadap informasi atau memutuskan seumur hidup minum air daun beringin, saya kembalikan kepada para pembaca. Lebih lagi, komponen agama yang sakral tidak menjadi subyek umpatan. Selamat beraktivitas.
Referensi:
Lauzon, F. (2012). Swearing in French, Swearing in English. The Gazette. Diakses 2 November 2017. http://www.montrealgazette.com/life/Swearing+French+swearing+English/7548887/story.html
Regoli, R. M.; Crank, J. P.; Culbertson, R. G. (1989). The consequences of professionalism among police chiefs. Justice Quarterly 6(1), 47-68.
Seljak, D. (1996). Why the quiet revolution was ‘Quiet’: the Catholic church’s reaction to the secularization of nationalism in Quebec after 1960. Historical Studies, Vol. 62 No. 1, pp. 109-24.
Tufaile, A., & Tufaile, A. P. B. (2015). Parhelic-like circle from light scattering in Plateau borders. Physics letters A, 379(6), 529-534.
Tidak ada komentar